Page

Wednesday, February 27, 2008

Hasil Wawancara Website DPI

TAMU KITA


Bpk. Nurharyanto: “MUTLAK PERLUNYA ANTI FRAUD POLICY DALAM ORGANISASI”
Pada saat workshop fraud auditing tanggal 28 s.d. 30 Juli 2006 di Karawaci yang diikuti oleh 20 auditor intern Direktorat Pengawasan Intern dan 2 pejabat Direktorat Sumber Daya Manusia (DSDM), Tim Website DPI berkesempatan mewawancarai Bapak Nurharyanto, SE, Ak, dari Lembaga Pengembangan Fraud Auditing. Berikut petikan wawancara singkat kami:
1. Berdasarkan hasil survei, hanya sekitar 11 % informasi mengenai fraud yang terungkap melalui internal audit, sedangkan sebagian besar informasi fraud diperoleh dari whistleblower. Adakah sarana khusus dan kondisi-kondisi tertentu di suatu organisasi agar orang tidak ragu menyuarakan adanya fraud dalam organisasi? Dari best practices yang selama ini saya dalami, informasi suatu perbuatan fraud pada suatu institusi lebih banyak diketiga atau yang dikenal dengen whistleblower. Kita lihat di Indonesia, whistleblower belum berkembang dengan baik karena UU perlindungan saksi belum jalan. Lazimnya, seseorang yang mengungkapkan fraud disebabkan orang tersebut ingin organisasi maju, atau dirugikan dari sisi pribadi, atau ada hal-hal yang secara spesifik belum mendapatkan jawaban yang pas sehingga timbullah keinginan untuk mengadukan kepada jenjang tertentu. Dalam hal ini, pegawai seringkali bingung dalam menyampaikan pengaduan, dan sering terpatahkan di level atasan. Untuk menampung pengaduan, biasanya disediakan media dengan dipublikasikan bahwa mereka yang memberikan input kepada organiasi akan diberikan tanggapan yang layak. Di negara maju, perlindungan saksi dikaitkan dengan masalah bahwa dia akan terlindungi sehingga dengan pengaduan itu tidak menjadikan dia malah menjadi orang yang bermasalah. Orang yang mengadukan harus mencantumkan alamat, nomor telepon sehingga kemungkinan orang memfitnah kecil. Jadi disediakan sarana, kalau anda mengadu silahkan mencantumkan alamat, nomor telepon, nanti akan dihubungi untuk diklarifikasi, dan anda akan dilindungi kalau informasi anda benar. Soal untuk membuktikan, bukan tugas whistleblower, namun tugas auditor. Hal inilah mengapa di negara-negara maju, surat kaleng merupakan pengaduan yang bisa ditelusuri darimana asal-usulnya.
2. Jika whistleblower sendiri merupakan bagian dari pelaku. Dalam konteks seperti ini apakah dia akan dilindungi dengan undang-undang perlindungan saksi?
Secara prinsip tetap dilindungi. Misalnya ada suatu kejahatan oleh 10 orang tetapi ada satu orang yang sadar lalu melaporkan, maka orang tersebut tetap dilindungi. Di Indonesia tampaknya belum demikian, karena tidak ada yang memberikan jaminan bahwa apabila seseorang merupakan bagian dari suatu kejahatan kemudian melaporkan maka dia tetap dilindungi. Dalam kontek organisasi, kita mulai dari orang-orang yang peduli pada organisasi, orang-orang yang mau memberikan masukan pada organisasi, dengan catatan bahwa mereka akan diberikan suatu perlindungan kerahasian. Hal ini harus menjadi komitmen seluruh jajaran dalam organisasi, jangan sampai kita komit tapi ternyata ada diantara kita yang membocorkan.
3. Selain ada sarana, undang-undang perlindungan saksi, perlukan adanya anti fraud policy yang menjadi payung bagi organisasi untuk memerangi fraud?
Saya kira mutlak diperlukan adanya kebijakan anti fraud yang menerjemahkan aturan apa-apa yang boleh dan tidak boleh termasuk didalamnya diatur mengenai sanksi. Jika ada anti fraud policy, maka tidak akan terjadi diskriminasi karena semua orang mempunyai persepsi yang sama. Jika selama ini ada seseorang yang berbuat salah, oleh pimpinan dijatuhi hukuman turun pangkat satu tingkat, sementara orang lain yang melakukan kesalahan sama dijatuhi hukuman yang lebih ringan karena mempunyai hubungan tertentu, maka hal ini terjadi karena ketidakjelasan mengenai format aturan yang tidak dipublikasikan. Jika kebijakan anti fraud di publikasikan, maka kebijakan itu merupakan kebijakan organisasi yang jika orang melanggar maka dia akan terkena sanksi oleh organisasi. Jadi mutlak untuk membangun kebijakan fraud dalam organisasi.

4. Secara umum kemampuan apa yang layak dimiliki auditor sehingga dapat mendeteksi secara dini kejadian yang berindikasi fraud?
Tugas seorang auditor adalah mendeteksi suatu titik kelemahan. Permasalahan yang terjadi di Indonesia, auditor tidak cukup hanya dengan kemampuan pendeteksian, karena sistem yang sudah dibangun biasanya dilanggar karena bentuk-bentuk kolusi. Secara konsep, auditor harus paham terhadap business process. Jadi kalau ada auditor yang tidak memahami business process, maka saya yakin dia tidak akan dapat mengungkap terjadinya fraud.
5. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman Bapak, di bidang apa yang sering terjadi fraud?
Secara umum dari bidang, yang saya amati kaitannya selalu dengan pengadaan barang dan jasa. Dari sektor bisnis, fraud di industri perbankan biasanya di perkreditan, di asuransi biasanya di penjaminan, jadi biasanya dititik-titik kegiatan itu merupakan revenue center yang merupakan core business dan atau merupakan cost center seperti pengadaan barang dan jasa.
6. Langkah-langkah apa yang perlu ada di suatu organisasi untuk meminimalkan terjadinya fraud?.
Dari 4 pilar pencegahan fraud, menurut saya 2 pilar yang pertama yang harus di pegang yaitu pencegahan dan pendeteksian dini. Pencegahan dikembalikan kepada aspek karyawan masing-masing, yaitu sebelum masuk di perusahaan diberitahukan bahwa kita berada dalam suatu lingkup organisasi yang menghendaki bebas dari KKN. Juga contoh-contoh, irama dari atas, tone of the top yang menyuarakan bahwa organisasi ini bersih. Kedua Pendeteksian, yaitu berfungsinya peran internal audit sebagai mitra organisasi, dalam pengetian bahwa internal audit bukan mencari-cari kesalahan. Biasanya bila internal audit telah menjadi mitra, orang percaya bahwa dia diawasi namun untuk tujuan perbaikan. Menurut saya, justru orang terangsang untuk berbuat fraud karena dia dicurigai. Ini lah yang menurut saya selama ini peran internal audit belum berjalan sebagai mitra. Jadi kita tidak pada dikotomi “anda” “saya”. Saya masih melihat selama ini kalau kita di internal audit, kita dianggap sebagai orang di luar organisasi kita sendiri.
7. Apakah dari suatu pemrosesan suatu fraud, internal audit wajib memberikan feedback terhadap perbaikan internal control di suatu kegiatan?
Mutlak. Langkah proaktif, pada waktu kita mendeteksi suatu titik lemah, kita tahu dampaknya, mungkin ada orang yang mau atau akan berbuat curang, begitu kita tahu ada titik lemah tersebut, maka pada saat itu juga kita menyarankan agar kelemahan itu diperbaiki. Jadi kita tidak menunggu orang berbuat salah tetapi kita masuk sebelum orang berbuat salah (preventif). Kita bersifat proaktif untuk melangkah ke sana. Aktivitas pendeteksian tidak selalu diletakkan ketika kegiatan sudah berakhir. Jadi kita bilang, anda boleh datang ke saya kalau anda punya masalah untuk kita diskusikan. Jangan anda sudah berbuat salah dulu baru datang ke saya. Orang tidak takut mengungkapkan sesuatu yang dirasa salah karena dia akan diberikan solusi perbaikan, Bukan untuk di punish.
8. Ada rencana APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) akan dijadikan lini terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sejauh mana hal tersebut bisa terlaksana dengan baik dan pra kondisi yang harus ada agar rencana itu terlaksana dengan baik?
APIP atau Satuan Pengawasan Intern (SPI) adalah alat manajemen, mata dan telinga manajemen. SPI garda terdepan adalah benar karena SPI bisa melihat hampir semua titik-titik lemah di organisasi. SPI bisa berbicara di semua level baik di level bawah, di level menengah maupun di level tertinggi. Jika suara SPI di dengar maka seluruh jajaran dalam organisasi tahu bahwa organisasi sedang bermasalah. Namun seringkali keberadaan SPI belum dianggap membantu manajemen, jadi walaupun ada dalam struktur organisasi, namun hanya untuk memenuhi standar normatif teori manajemen klasik, dimana ada fungsi pengawasan.
9. Apakah APIP akan lebih loyal kepada aparat penegak hukum atau kepada manajemen?
Mau nggak mau loyal kepada manajemen. Dalam konteks bahwa perbuatan-perbuatan yang salah diberitahukan oleh SPI kepada manajemen. Jadi bukan masalah loyal, namun masalah pemahaman terhadap perbuatan fraud. Dari sudut kewenangan internal audit dibatasi oleh hierarki manajemen. Disamping itu, di Indonesia belum ada jalur yang membuka komunikasi antara internal audit dengan aparat penegak hukum secara langsung. Di Amerika, batasannya jelas, satu perbuatan yang mengarah perbuatan fraud dan merugikan perusahaan maka SPI dapat menyampaikan langsung kepada aparat penegak hukum, disamping melaporkan kepada komite audit atau komisaris. Di Indonesia, sudah ada komisaris dan komite audit namun tidak bejalan secara efektif, kerena sangat tergantung kepada figur kepala SPI. Jadi SPI bisa jadi garda terdepan dalam memberantas korupsi, sepanjang manajemen komit untuk memberantas korupsi. Secara professional, setiap penyimpangan/fraud di-cover dalam laporan untuk disampaikan kepada manajemen guna diputuskan lebih lanjut.

Karawaci, 28 Juli 2006
Interviewer: HP, DD, Ns (Tim Website DPI)


Tuesday, February 5, 2008

Peran Internal Auditor Terhadap Terjadinya Fraud Pada Korporasi

Peran Internal Auditor Terhadap Terjadinya Fraud Pada Korporasi
Oleh: Nurharyanto

Pendahuluan
Tidak ada organisasi yang terbebas dari fraud, karena pada akhirnya pemasalahan harus kembali berkutat ke masalah manusia. “The man behind the gun”. Apapun aturan dan prosedur diciptakan, sangat dipengaruhi oleh manusia yang memegang kuasa untuk menjalankannya, karena tidak semua orang jujur dan berintegritas tinggi. Fraud yang terjadi dilingkungan korporasi dipengaruhi 3 unsur faktor pendorong fraud yaitu: motivasi, kesempatan dan rasionalisasi atau pembenaran. Dari ketiga unsur tersebut yang dapat dikendalikan oleh perusahaan hanya satu faktor saja, yaitu faktor kesempatan.
Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir peran internal auditor telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, dan akan terus berkembang untuk mengakomodasi perubahan lingkungan bisnis secara berkesinambungan, dan semakin kompleks. Internal auditor saat ini menjalankan penugasan audit pada semua tingkatan atas perintah dewan direksi maupun komite audit. Lembaga internal audit saat ini juga telah dijadikan tempat magang (merupakan wadah pelatihan) jabatan manajerial bagi mereka yang akan menduduki posisi manajemen kunci, termasuk untuk menjadi anggota komite audit; namun demikian tanggungjawab utama internal auditor adalah membantu manajemen pada semua tingkatan untuk memenuhi tanggungjawab mereka atas;
1) Menilai efisiensi dan efektivitas dan ke-ekonomisan kinerja manajemen
2) Memberikan saran yang konstruktif untuk meningkatkan kinerja
3) Memonitor kualitas, intergritas dan keandalan proses pelaporan transaksi keuangan.
Bab ini akan membahas mengenai peran internal auditor dalam corporate governance, proses pelaporan transaksi keuangan, struktur pengendalian intern, pencegahan, pendeteksian dan perbaikan atas terjadinya kecurangan (fraud) di lingkungan organisasi/ perusahaan.

Internal Auditor dan Corporate Governance
Tanggungjawab internal auditor dalam pencegahan, pendeteksian dan menginvestigasi perbuatan fraud masih menjadi perdebatan yang berkepanjangan dalam profesi audit, khususnya pada lembaga audit internal. Namun demikian tidak bisa dibantah bahwa internal auditor memegang peranan penting dalam mendukung penerapan good corporate governance. Keterlibatan internal auditor dengan aktivitas operasional sehari-hari termasuk keterlibatan dalam proses pelaporan transaksi keuangan dan struktur pengendalian intern memberi kesempatan internal auditor untuk melakukan penilaian secara berkala dan menyeluruh atas aspek-aspek kegiatan/operasional perusahaan yang memiliki risiko tinggi. Efektivitas peran internal auditor dalam mencegah dan mendeteksi fraud sangat tergantung pada besar kecilnya status kewenangan yang dimiliki dan mekanisme pelaporan hasil investigasi fraud yang dapat dijalankannya, karena belum semua jajaran direksi mau memberikan kewenangan penuh dalam proses pencegahan, pendeteksian dan investigasi fraud pada internal auditor.
Standar Profesi Audit Internal (1210.2) menyatakan bahwa internal audit harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti, dan menguji adanya indikasi kecurangan.
Sejalan dengan itu penyataan standar internal audit (SIAS) No.3, internal audit diwajibkan untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya ketidakwajaran penyajian, kesalahan, penyimpangan, kecurangan, inefficiency, konflik kepentingan dan ketidak efektifan pada suatu aktivitas perusahaan, pada saat pelaksanaan audit. Internal auditor juga diminta untuk menginformasikan kepada pejabat yang berwenang dalam hal diduga telah terjadi penyimpangan, dan menindaklanjutinya untuk meyakinkan bahwa tindakan yang tepat telah dilakukan untuk memperbaiki masalah yang ada.

Peran Internal Auditor Dalam Pencegahan dan Pendeteksian Fraud
W. Steve Albrecht dalam bukunya Fraud Examination (2003); menjelaskan bahwa terdapat 4 pilar utama dalam memerangi fraud yaitu:
1. Pencegahan fraud (fraud prevention)
2. Pendeteksian dini fraud (early fraud detection)
3. Investigasi fraud (fraud investigation)
4. Penegakan hukum atau penjatuhan sanksi (follow-up legal action)
Berdasarkan 4 pilar utama dalam rangka memerangi fraud tersebut, peran penting dari internal auditor dalam ikut membantu memerangi perbuatan fraud khususnya mencakup :
Preventing Fraud (mencegah fraud)
Detecting Fraud (mendeteksi fraud)
Investigating Fraud (melakukan investigasi fraud)
Secara garis besar pencegahan dan pendeteksian serta investigasi merupakan tanggung jawab manajemen, akan tetapi internal auditor diharapkan dapat melakukan tiga hal tersebut di atas sebagai bagian dari pelaksanaan tugas manajemen. Dalam perkembangannya penugasan dalam memerangi fraud saat ini telah mengarah pada profesi tersendiri, seperti Certified Fraud Examiners (CFE) ataupun akuntan forensik.
Dalam menjalankan tugas auditnya, internal auditor harus waspada terhadap setiap hal yang menunjukkan adanya kemungkinan adanya peluang atau kemungkinan terjadinya fraud. Dalam kenyataannya, kewaspadaan dan sifat skeptis yang pada tempatnya, mungkin merupakan dua ketrampilan yang penting bagi internal auditor. Penyelidikan yang kritis terhadap kemungkinan fraud, harus diikuti oleh penilaian terhadap pengendalian yang ada, praktik pengendalian dan seluruh lingkup pengendaliannya yang potensial. Untuk menyelidiki fraud yang terjadi dalam suatu perusahaan/organisasi, dibutuhkan kombinasi keahlian seorang auditor terlatih dan penyelidik kriminal.
Internal auditor harus bertindak secara pro-aktif dalam mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud, khususnya keterlibatan secara aktif dalam struktur pengendalian intern perusahaan dan status organisasi. Berbeda dengan eksternal auditor, efektivitas internal auditor dalam mencegah dan mendeteksi fraud seringkali terkendala oleh waktu dan besarnya biaya untuk menilai/menguji prosedur, kebijakan manajemen dan pengujian atas pengendalian. Internal auditor berada dalam posisi yang penting untuk memonitor secara terus menerus struktur pengendalian intern perusahaan melalui identifikasi dan investigasi tanda-tanda (red flags) fraud yang mengindikasikan terjadinya suatu fraud. Internal auditor berada pada posisi yang tepat untuk memahami seluruh aspek tentang struktur organisasi, tempat pelatihan yang tepat, pemahaman mereka terhadap sumberdaya manusia yang ada, sangat memahami kebijakan dan prosedur operasi, dan memahami kondisi bisnis dan lingkungan pengendalian intern yang memungkinkan untuk mengidentifikasi dan menilai tanda-tanda (symptom ataupun red flag) kemungkinan terjadinya fraud.
Peranan internal auditor dalam mencegah dan mendeteksi fraud diatur secara jelas dalam kewenangan pelaporan dan standar profesi. Komisi Treadway merekomendasikan bahwa internal auditor harus berperan aktif dalam mencegah dan mendeteksi fraud. Demikian pula dalam Pernyataan Standar Internal Audit mensyaratkan bahwa internal auditor harus berperan aktif dalam mencegah dan mendeteksi fraud dengan mengidentifikasi tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraud, menginvestigasi gejala fraud dan melaporkan temuannya kepada komite audit atau kepada tingkat manajemen yang tepat.
Fraud biasanya tidak hanya dilakukan oleh karyawan pada tingkat bawah, tetapi juga dapat dilakukan oleh jajaran direksi (top manajemen) baik secara individual maupun bersama-sama (manajemen fraud) yang dalam cakupan penugasan audit mungkin diluar jangkauan kewenangan internal auditor. Pada dasarnya dalam menjalankan tugas audit regular, internal auditor perlu mewaspadai terjadinya fraud yang dapat mempengaruhi, kualitas, integritas dan keandalan pelaporan transaksi keuangan perusahaan. Dalam hal ini, internal auditor harus menginvestigasi secara menyeluruh kemungkinan terjadinya fraud dan mengkomunikasikan kepada komite audit terhadap adanya indikasi terjadinya fraud. Sehingga, hubungan kerjasama yang erat antara komite audit dengan fungsi audit internal, khususnya melalui pertemuan-pertemuan antara ketua komite audit dengan kepala SPI, akan dapat meningkatkan kualitas hasil kerja internal auditor dan mengurangi kemungkinan terjadinya fraud.
Hubungan kerjasama antara internal auditor dengan eksternal auditor dapat membawa keterlibatan internal auditor dalam proses penilaian terhadap (kemungkinan) terjadinya fraud pada area peran internal auditor yang sangat terbatas. misalnya pada level terjadinya fraud yang melibatkan manajemen lini menengah dan atas (middle/top management). Sehingga secara tidak langsung internal auditor akan lebih mampu berperan dalam memantau kemungkinan terjadinya fraud pada level pembuat kebijakan. Situasi demikian ini akan memberikan peluang bagi internal auditor untuk berperan aktif dalam pengujian integritas, kualitas dan keandalan proses pembuatan hingga impelmentasi kebijakan yang dilakukan oleh top manajemen. Bahkan dalam laporannya pada tahun 1999, COSO mendorong agar internal auditor mampu dan dapat berperan secara aktif dalam menilai kualitas, keandalan dan integritas manajemen puncak dalam pembuatan dan implementasi kebijakan agar terbebas dari unsur perbuatan fraud.

Tanggungjawab Internal Auditor Dalam Pencegahan Fraud.
Pernyataan standar internal auditing (SIAS) No.3 juga menguraikan mengenai tanggungjawab internal auditor untuk pencegahan fraud adalah; “memeriksa dan menilai kecukupan dan efektivitas sistem pengendalian intern, berkaitan dengana pengungkapan risiko potensial pada berbagai bentuk kegiatan/operasi organisasi” Menurut SIAS No.3 internal auditor harus mengidentifikasi indikator-indikator fraud, dan jika diperlukan, ditingkatkan dengan pelaksanaan investigasi untuk membuktikan apakah fraud benar-benar terjadi.
SIAS No.3 memberikan pedoman berkaitan dengan tanggungjawab internal auditor untuk pencegahan, pendeteksian, investigasi dan pelaporan fraud. Jadi, standar ini secara jelas mengemukakan bahwa pencegahan fraud adalah tanggungjawab manajemen. Meskipun demikian internal auditor harus menilai kewajaran dan efektivitas tindakan yang dilakukan oleh manajemen terhadap kemungkinan penyimpangan atas kewajiban tersebut. Berkaitan dengan pendeteksian fraud, SIAS No.3 masih belum tegas mengenai tanggungjawab internal auditor. Sementara dipihak lain, adanya penegasan bahwa internal auditor harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang fraud untuk dapat mengidentifikasi gejala fraud dan menetapkan prosedur audit untuk menemukan terjadinya fraud. Hal demikian seolah-olah mengindikasikan bahwa;
Internal auditor tidak diharapkan memiliki pengetahuan yang setara dengan mereka yang memiliki tanggungjawab utama mendeteksi dan menginvestigasi fraud.
Prosedur audit rutin yang diterapkan oleh internal auditor tidak dirancang untuk mengungkapkan terjadinya fraud.
SIAS No.3 merekomendasikan agar investigasi fraud dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari internal auditor, bagian hukum, investigator, petugas security dan ahli-ahli lainnya baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Tanggungjawab internal auditor berkaitan dengan investigasi fraud adalah:
· Menetapkan apakah pengendalian yang ada telah cukup memadai dan efektif untuk mengungkap terjadinya fraud
· Merancang suatu prosedur audit untuk mengungkap dan mencegah terulangnya kembali terjadinya fraud atau penyimpangan.
· Mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk menginvestigasi fraud yang sering terjadi.
SIAS No.3 menjelaskan tanggungjawab internal auditor dalam mendeteksi fraud mencakup; Pertama, internal auditor harus memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas fraud agar dapat mengidentifikasi kondisi yang menunjukkan tanda-tanda fraud yang mungkin akan terjadi. Kedua, internal auditor harus mempelajari dan menilai struktur perusahaan untuk mengidentifikasi timbulnya kesempatan, seperti kurangnya perhatian dan efektivitas terhadap sistem pengendalian intern yang ada.

Kemampuan Internal Auditor dalam Mendeteksi Fraud
Untuk mempercepat tujuan-tujuannya, seorang internal auditor dalam kaitannya dengan pendeteksian fraud yang efektif, harus mampu melakukan antara lain hal-hal berikut :
Mengkaji sistem pengendalian intern untuk menilai kekuatan dan kelemahannya.
Mengidentifikasi potensi fraud berdasarkan kelemahan yang ada pada sistem pengendalian intern.
Mengidentifikasi hal-hal yang menimbulkan tanda tanya dan transaksi- transaksi diluar kewajaran (non prosedural).
Membedakan faktor kelemahan dan kelalaian manusia dari kesalahan yang bersifat fraud.
Berhati-hati terhadap prosedur, praktik dan kebijakan manajemen.
Dapat menetapkan besarnya kerugian dan membuat laporan atas kerugian karena fraud, untuk tujuan penuntutan pengadilan (litigasi), penyelesaian secara perdata, dan penjatuhan sanksi internal (skorsing,hingga pemutusan hubungan kerja).
Mampu melakukan penelusuran dan mengurai arus dokumen yang mendukung transaksi fraud.
Mencari dokumen pendukung untuk transaksi yang dipertanyakan (dispute).
Mereviu dokumen yang sifatnya aneh/mencurigakan.
Menguji jalannya implementasi motivasi dan etika organisasi di bidang pencegahan dan pendeteksian fraud.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keahlian seorang internal auditor dalam pengungkapan terjadinya fraud, harus memiliki kemampuan mirip dengan yang dimiliki seorang penyidik kriminal dan keberadaan keduanya adalah untuk mencari kebenaran melalui pengungkapan bukti pendukung perbuatan fraud-nya. Dalam pengungkapan fraud seorang internal auditor harus mempunyai rasa ingin tahu dan suka akan tantangan pada hal-hal yang muncul secara tidak lazim. Dengan kata lain ingin tahu pada hal-hal yang bertentangan dengan logika atau apa yang diharapkan secara wajar.
Di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut tentang dua peran inetrnal auditor dalam preventing dan detecting, sedangkan peran ketiga yaitu investigating berkaitan dengan peran akuntan forensik diuraikan dalam pembahasan tersendiri.
Terjadinya tindakan fraud tidak lepas dari berbagai faktor baik intern maupun ekstern. Disamping itu dalam upaya menemukan dan mengungkap penyimpanan yang mengarah pada terjadinya perbuatan fraud, internal auditor tidak harus mencari penyelesaian yang kompleks. Pengungkapan fraud dapat dimulai dengan mengidentifikasi dan mencari jawaban/penyelesaian yang paling sederhana.
Beberapa teknik pencegahan fraud dapat diuraikan sebagai berikut:
Kebijakan
Kebijakan suatu unit organisasi harus memuat a high ethical tone dan harus dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif untuk menghadapi tindakan-tindakan fraud dan kejahatan ekonomi lainnya. Dalam upaya pencegahan fraud, seluruh jajaran manajemen dan karyawan harus mempunyai komitmen yang sama terhadap pencegahan fraud dan penyimpangan (irregularities). Dengan demikian, kebijaksanaan yang ada akan dilaksanakan dengan baik.
Prosedur
Pada dasarnya komitmen manajemen dan kebijakan suatu instansi/ organisasi merupakan kunci utama dalam mencegah dan mendeteksi fraud. Namun demikian, harus pula dilengkapi dengan prosedur tertulis sebagai media pendukung. Jumlah dan isi prosedur organisasi sangat bervariasi, tetapi secara umum harus memuat :
a. Adanya pengendalian intern yang antara lain terdapat pemisahan fungsi sehingga tercipta kondisi saling cek antar fungsi tersebut.
b. Adanya sistem reviu dan sistem operasi yang memadai bagi sistem terkomputerisasi, sehingga memungkinkan komputer tersebut untuk mendeteksi fraud secara otomatis.
Hal-hal yang dapat menunjang terciptanya sistem tersebut adalah:
§ Desain sistem harus mencakup kontrol yang memadai.
§ Harus ada prinsip-prinsip pemisahan fungsi.
§ Ada screening (penelitian khusus) terhadap komputer dan karyawan pada saat rekrutmen dan pelatihan.
§ Adanya pengendalian atas akses dalam komputer maupun data.
c. Adanya prosedur yang efektif dalam mendeteksi fraud dan untuk itu perlu diperhatikan:
§ Prosedur yang memadai untuk melaporkan fraud yang ditemukan.
§ Prosedur yang memadai untuk mendeposisikan setiap individu yang terlibat fraud.
Dengan memproses dan menindak setiap individu yang terlibat fraud secara cepat dan konsisten, maka akan menjadi faktor penangkal (deterence) yang efektif bagi individu lainnya. Sebaliknya jika terhadap individu yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi/hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka akan mendorong individu lain untuk melakukan fraud.
Organisasi
Auditor internal harus diberi/mempunyai tanggung jawab yang setara dengan jajaran eksekutif. Mungkin dapat merupakan bagian dari functional outline atau job description dari masing-masing eksekutif, dan mungkin juga merupakan bagian dari kebijakan manajemen. Disamping itu juga perlu didukung oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya audit committee yang independen merupakan suatu nilai plus.
2. Agar efektif, audit internal harus mempunyai akses ke audit committee maupun manajemen puncak. Walaupun pimpinan auditor internal tidak melapor ke senior manajemen puncak, akan tetapi untuk hal-hal yang sifatnya khusus, ia harus dapat langsung akses ke pimpinan yang lebih tinggi.
Teknik Pengendalian
Sistem yang dirancang dan dilaksanakan secara kurang baik akan menjadi sumber atau peluang terjadinya fraud, yang pada gilirannya menimbulkan kerugian finansial bagi organisasi.
Teknik-teknik pengendalian dan teknik audit yang efektif untuk mengurangi kemungkinan kerugian finansial dan fraud.
§ Pembagian tugas yang jelas, sehingga tidak ada satu orang pun yang menguasai seluruh aspek dari suatu transaksi.
§ Pengawasan memadai.
§ Kontrol yang memadai terhadap akses ke terminal komputer, terhadap data yang ditolak dalam pemrosesan, maupun terhadap program- program serta media pendukung lainnya.
Adanya manual pengendalian terhadap file-file yang dipergunakan dalam pemrosesan komputer ataupun pembuangan file (disposal) yang sudah tidak terpakai.
Peran serta Pegawai
Kerugian dan fraud dapat dicegah apabila organisasi atau instansi mempunyai staf yang berpengalaman dan mempunyai “SILA” (Suspicious, Inquisitive, Logical dan Analytical mind), sehingga mereka peka terhadap sinyal–sinyal fraud.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menumbuh kembangkan “SILA” adalah:
§ Kualifikasi calon pegawai harus mendapat perhatian khusus, bila dimungkinkan, menggunakan referensi dari pihak-pihak yang pernah bekerja sama dengan mereka.
§ Implementasikan prosedur grievance yang efektif, sehingga para pegawai yang discontented mempunyai jalur untuk mengajukan protes/ketidakpuasannya. Dengan demikian, para karyawan merasa diperhatikan dan mengurangi kecenderungan mereka untuk berkonfrontansi dengan organisasi.
§ Setiap pegawai harus selalu diingatkan dan didorong untuk melaporkan segala transaksi atau kegiatan pegawai lainnya yang mencurigakan. Rasa curiga yang beralasan dan dapat dipertanggung jawabkan harus ditumbuhkan. Untuk itu perlu dijaga kerahasiaan sumber-sumber/orang yang melapor. Dari pengalaman yang ada terlihat bahwa fraud biasanya diketahui berdasarkan laporan informal dan kecurigaan dari sesama kolega.
§ Para karyawan hendaknya tidak diperkenankan untuk lembur secara rutin tanpa pengawasan yang memadai. Suatu survey yang dilakukan oleh ACFE tahun 2004 menunjukkan bahwa pada beberapa perusahaan Amerika Serikat, lembur dianggap sebagai indikasi ketidakefisienan kerja, yang direkomendasikan untuk dikurangi/dihindarkan. Dengan penjadwalan dan pembagian kerja yang baik, semua pekerjaan dapat diselesaikan pada jam-jam kerja.
Karyawan diwajibkan cuti tahunan setiap tahun. Biasanya si pelaku fraud memanipulasi sistem tertentu untuk menutupi perbuatannya. Hal ini dapat terungkap pada saat yang bersangkutan mengambil cuti tahunannya, dan tugas-tugasnya diambil alih oleh karyawan lain. Bila dimungkinkan, lakukan rotasi pegawai secara periodik untuk tujuan yang sama

Pendeteksian Fraud
Langkah penting yang harus dilakukan oleh internal auditor untuk mengetahui ada / tidaknya fraud adalah dengan jalan mendeteksinya.
Tujuan
Deteksi fraud adalah suatu persoalan untuk mengetahui :
Bahwa tindakan fraud telah terjadi (ada).
Apakah organisasi/perusahaan menjadi korban atau sebagai pelaku fraud.
Adanya kelemahan dalam pengendalian intern serta moral pelaku yang menjadi penyebab terjadinya fraud
Adanya kondisi lingkungan di organisasi/ perusahaan yang menyebabkan terjadinya fraud.
Bahwa kunci dalam pelaksanaan suatu fraud audit adalah untuk dapat melihat adanya suatu kesalahan dan ketidak beresan
Secara umum, pendeteksian fraud dapat dilakukan baik secara proaktif maupun reaktif, sebagai berikut :
Dengan penerapan pengendalian intern yang memadai yaitu adanya pemisahan tugas penyimpanan, otorisasi dan pencatatan.
Pelaksanaan audit finansial, operasional dan ketaatan.
Pengumpulan data intelijen terhadap gaya hidup dan kebiasaan pribadi pegawai.
Penerapan prinsip pengecualian (exception) di dalam pengendalian dan prosedur.
Pelaksanaan review terhadap penyimpangan (variances) dalam kinerja operasi (standar, tujuan, sasaran, anggaran, rencana).
Adanya pengaduan dan keluhan dari karyawan.
Intuisi atasan pegawai.
Adanya kecurigaan (suspicion).
Dari teknik-teknik deteksi yang ada, dapat dilakukan dengan teknik critical point of audit dan sensitivity analysis.
1. Critical Point Auditing
Critical point auditing adalah suatu teknik pendeteksian fraud melalui audit atas catatan pembukuan yang mengarah pada gejala atau kemungkinan terjadinya fraud yang mengarahkan auditor untuk melakukan penyelidikan yang lebih rinci. Cara ini dapat digunakan pada setiap organisasi. Makin akurat dan komperehensif suatu catatan, makin efektif teknik ini dalam mengetahui/ mendeteksi gejala fraud.
Keberhasilan dalam mendeteksi fraud tergantung 3 (tiga) faktor yaitu:
§ Besarnya organisasi dan jumlah transaksi, catatan yang tersedia untuk audit
§ Jumlah item yang audit
§ Jumlah fraud yang terjadi
Cara pendekatan yang sering digunakan antara lain :
a. Analisis Trend
Pengujian ini terutama ditunjukkan untuk menilai kewajaran pembukuan dalam rekening buku besar dan menyangkut pola perbandingannya dengan data sejenis untuk periode sebelumnya (historical data). Perbandingan dengan data sejenis dari cabang perusahaan, maupun perbandingan dengan data periode sebelumnya berguna untuk :
§ Mendapatkan gejala manipulasi yang dilakukan oleh pihak intern perusahaan yang melakukan fraud.
§ Mendeteksi kemungkinan adanya fraud baru yang terjadi.
Pengamatan dan analisis lebih lanjut terhadap dampak atas fraud dengan mendasarkan pada rasio dan kinerja adalah hal yang sangat penting untuk mendeteksi fraud. Seorang pelaku fraud tidak dapat menjamin tingkat keteraturan perbuatannya. Pelaku tersebut mungkin cukup agresif, namun jika pengawasan ditingkatkan atau jika prosedur ataupun pengendalian intern yang lebih efektif diterapkan, maka mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengulangi perbuatannya. Paling tidak, mereka membutuhkan waktu untuk menciptakan bentuk fraud yang baru. Ketidakteraturan kesempatan akan menyebabkan ketidak konsistenan dalam melakukan fraud, sehingga dampak dari fraud akan nampak dalam pembukuan /akuntansinya atau meninggalkan jejak audit lainnya.
Pengujian Khusus
Pengujian khusus biasanya dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan yang memiliki risiko tinggi terhadap fraud, antara lain:
§ Fraud pembelian pada umumnya dilakukan dengan cara meninggikan nilai yang terdapat dalam faktur atau pembelian fiktif.
§ Verifikasi buku besar, terutama rekening hutang yang muncul setelah penunjukan pejabat baru, khususnya yang menangani pembelian.
§ Tidak jarang pejabat baru memilih atau “membawa” supplier yang telah dikenalnya dan mengganti supplier yang selama ini banyak berhubungan dengan instansinya.
Fraud dalam penjualan dapat berupa penjualan fiktif, lapping dan lain-lain.
Job Sensitivity Analysis (Tehnik Analisis Kepekaan)
Setiap pekerjaan dalam suatu organisasi memiliki berbagai peluang/kesempatan terjadinya fraud. Hal ini tergantung beberapa faktor seperti akses, kemampuan, dan waktu yang tersedia untuk merencanakan dan melaksanakannya. Teknik analisis kepekaan pekerjaan (job sensitivity analysis) ini pada prinsipnya didasarkan pada analisis, jika seorang pegawai bekerja pada posisi tertentu, peluang/ tindakan negatif (fraud) apa saja yang dapat dilakukannya. Dengan kata lain, teknik ini merupakan analisis dengan memandang “pelaku potensial”. Sehingga pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya fraud dapat dilakukan misalnya dengan memperketat audit internal pada posisi-posisi yang rawan fraud.
Metode Pendekatan
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi semua posisi pekerjaan di dalam suatu instansi/organisasi yang rawan terhadap fraud. Untuk itu auditor harus mempelajari:
§ Struktur organisasi.
§ Uraian tugas masing-masing pejabat.
§ Manual akuntansi dan formulir-formulir.
§ Pendelegasian wewenang.
Langkah berikutnya adalah memperoleh spesifikasi pekerjaan pejabat/pegawai dan mencatat perbedaan antara akses yang diperbolehkan atas suatu rekening dan akses yang direncanakan. Misalnya, petugas bagian Pembelian/ Pengadaan tidak diperbolehkan memiliki akses atas catatan pembelian. Tetapi kalau dia memiliki ruang bersama-sama dengan pegawai bagian pembelian, adalah suatu hal yang tidak realistis bila menganggap bahwa petugas pembelian/ pengadaan tersebut tidak mungkin membaca, mengubah atau menyembunyikan catatan
Pengawasan Rutin
Sesuatu hal yang mudah bagi pencuri untuk beroperasi, bilamana manajer/pimpinan sibuk dengan tanggung jawab lain. Tingkat pengendalian yang dilakukan juga harus dipertimbangkan apabila bawahan lebih pandai dari atasannya, atau apabila atasan memiliki bawahan yang mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda
Karakter Pribadi
Karakter pribadi pegawai harus dipertimbangkan. Gejala-gejala tersebut termasuk:
§ Kekayaan yang tidak dapat dijelaskan.
§ Pola hidup mewah.
§ Pegawai tidak puas (tidak naik pangkat).
§ Egois (mementingkan diri sendiri).
§ Sering mengabaikan instruksi/prosedur.
§ Ingin dianggap paling penting.
Meskipun ada pengecualian, indikasi di atas jangan diabaikan.
Tindak Lanjut
Hasil analisis akan menunjukkan jenis pekerjaan mana yang mempunyai risiko tinggi dan metode fraud yang bagaimana yang dapat dilakukan. Pengujian secara rinci harus dilakukan guna menentukan apakah kesempatan yang ada telah digunakan.
Auditor harus waspada terhadap situasi atau transaksi yang menunjukkan indikasi tindakan melawan hukum yang secara tidak langsung mempengaruhi hasil audit. Kalau prosedur audit menunjukkan bahwa tindakan melawan hukum mungkin telah terjadi atau memang telah terjadi, auditor harus menentukan pengaruh tindakan tersebut terhadap hasil audit. Dalam melaksanakan prosedur audit guna meneliti tindakan melawan hukum, auditor harus menerapkan kecermatan profesi dan kewaspadaannya sedemikian rupa sehingga tidak menghambat penyidikan atau proses peradilan di masa mendatang. Penerapan kecermatan profesi meliputi konsultasi dengan aparat hukum seperti kejaksaan atau kepolisian untuk menentukan prosedur audit yang harus dilakukan. Dengan demikian seharusnya auditor dalam melaksanakan setiap jenis audit harus mewaspadai kemungkinan terjadinya fraud
=oo0oo=

Sunday, January 20, 2008

Evolusi Uang Haram

Nurharyanto, Ak. & Rudy Hartono, SE.

Proses pencucian uang, tantangan kedepan, peran Indonesia dalam mencegah dan meranginya saat ini

Pendahuluan
Praktek pencucian uang bukanlah sesuatu phenomena yang baru – pelaku tindak kriminal selalu berusaha untuk mengaburkan aktivitasnya– tetapi selalu hadir dalam bentuk yang mutakhir. Sudah sangat lama diindikasikan bahwa masalah praktek pencucian uang merupakan sebuah problem marjinal, ramainya masalah perdagangan obat-obatan terlarang (psikotropika) dan pasokan senjata illegal menjadikannya bagian yang penting dalam kegiatan/bisnis tindak kriminal. Hasil-hasil kejahatan, umumnya dalam bentuk uang tunai (cash) harus dihilangkan asal-usulnya (dicuci) untuk digunakan dalam kegiatan investasi. Kegiatan pencucian ini akan melibatkan suatu rangkaian aktivitas operasi keuangan yang sangat rumit/complicated seperti proses penyimpanan, pengambilan, transfer antar bank dsb, dengan tujuan akhir; uang hasil tindak kejahatan menjadi “bersih” dan dapat digunakan untuk kegiatan bisnis yang legal.
Masalah pencucian uang saat ini dirasa telah berkembang dengan begitu cepatnya, apalagi jika dikaitkan dengan besarnya dana yang ditransaksikan. Menurut beberapa sumber memperkirakan bahwa jumlah dana yang dilakukan pencucian mencapai jutaan hingga milyar US dollar, yang sebagian besar hasil dari perdagangan gelap/penyelundupan obat-obatan terlarang, penjualan senjata, hasil korupsi, tindak kecurangan dan hasil tindak kejahatan terorganisir lainnya. Praktek pencucian uang dari hasil kejahatan diusahakan untuk diproses melalui kegiatan bisnis normal sehingga akan dapat memasuki (diterima) oleh pasar yang sah, sistem dan/atau aktivitas perkonomian yang wajar.
Dewan Eropa sejak tahun 1980 telah menerapkan instrumen pencegahan pencucian uang yang pertama kali (Rekomendasi No. 10/1980 atas pengukuran terhadap transfer/perpindahan dan pengamanan dana-dana hasil kejahatan). Pada tahun 1988 saat menghadapi ancaman terhadap penggunaan obat-obatan terlarang dan uang hasilnya,
masyarakat internasional menerima hasil konvensi PBB atas pemberantasan obat bius dan psikotropika. Konvensi ini yang pertama kali mensyaratkan negara-negara peserta konvensi untuk mengakui/menganggap praktek pencucian uang sebagai tindak kejahatan dan memasukkannya dalam peraturan perundang-undangan dinegaranya. Pencucian uang dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi sebagian besar masyarakat di belahan bumi ini. Perang terhadap praktek pencucian uang merupakan suatu agenda utama para petinggi dan pembuat kebijakan: berbagai organisasi internasional menempatkan masalah pencucian uang sebagai agenda yang perlu mendapat prioritas utama penanganannya, agenda pembangunan perangkat hukum dan upaya lain dalam pencegahan dan penjatuhan
hukuman kepada pelaku pencucian uang terus diupayakan baik secara nasional, regional dan internasional. Pada dekade terakhir ini langkah-langkah pemberantasan praktek pencucian uang mengalami kemajuan yang cukup signifikan, namun demikian pencucian uang merupakan “sasaran yang terus bergerak”; para pelaku mengembangkan teknik-teknik baru, seperti cyber laundering, pengembangan penggunaan jalur pencucian melalui non-lembaga keuangan, memasuki segmen-segmen baru seperti bisnis real estate, bursa saham dan barang-barang seni bernilai tinggi.
Konsep dasar
Sering kita mendengar istilah “Money Laundering” ataupun jika sulih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “pencucian uang”, mungkin secara mudah kita akan dapat menebak apa yang dimaksud dengan tindakan pencucian uang tersebut. Tetapi untuk lebih memperjelasnya terdapat beberapa definisi mengenai Money Laundering yang dapat dijadikan acuan.
The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) mendefinisikan “Money Laundering is the processing of these criminal proceeds to disguiese their ilegal origin” sedangkan RAND -merupakan organisasi non profit (lembaga think thank) yang didirikan sejak tahun 1946 berkantor pusat di Amerika yang berkecimpung dalam bidang penelitian dan pengembangan- mendefinisikan “Money Laundering is an ilegal activity through which proceeds take on outward appereance of legitimacy”.
Secara umum dari kedua definisi tersebut dapat diterjemahkan bahwa money laundering merupakan “proses menyamarkan atas hasil/keuntungan yang diperoleh dari tindak kejahatan sehingga kelihatan seolah-olah diperoleh dengan cara yang legal (sesuai dengan aturan yang berlaku). Kegiatan pencucian uang merupakan konsekuensi yang hampir pasti terjadi pada semua perolehan keuntungan yang membangkitkan unsur-unsur kejahatan. Pada umumnya pelaku cenderung untuk mencari daerah yang memiliki risiko rendah atau lemah atau tidak efektif dalam mendeteksi kegiatan pencucian uang. Karena tujuan pencucian uang adalah untuk mendapatkan dana tersebut kembali kepada orang-orang yang men-generate-nya, pelaku umumnya lebih memilih untuk memindahkan dananya ke daerah-daerah yang financial system-nya telah established. Perbedaan antara
sistem anti money laundering di suatu negara akan dapat dieksploitasi oleh pelaku, yang cenderung untuk memindahkan jaringan mereka ke negara-negara dan sistem keuangan yang lemah atau yang memiliki tindakan pencegahan yang tidak efektif (ineffective countermeasures).

Proses Pencucian
Dalam upaya untuk membantu menjelaskan dan menganalisa fenomena proses pencucian uang, lazim digunakan pendekatan “tiga-tahap”. Tahapan-tahapan ini jika dapat dilalui/dilaksanakan seluruhnya disebut sebagai suatu skema pencucian uang yang ideal. Tahapan tersebut meliputi:
Pertama, Tahap Penempatan – Uang hasil kejahatan yang lazim disebut sebagai uang haram, yang diperoleh langsung dari tindak kriminal (seperti hasil penjualan obat bius ataupun senjata) mula-mula ditempatkan pada lembaga keuangan atau digunakan untuk membeli asset.
Kedua, Tahap Pelapisan – Tahap ini merupakan tahap usaha untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul kepemilikan uang haram tersebut.
Ketiga, Tahap Penggabungan – Pada tahap ini uang haram sudah dapat digabungkan kedalam asset melalui sistem keuangan yang sudah ada (existing), selanjutnya dapat digunakan untuk memasuki kegiatan ekonomi, bisnis melalui sistem keuangan yang legal. Sudah barang tentu masing-masing tahap yang dijelaskan di atas tidak selalu tampak berdiri sendiri-sendiri, bisa saja ketiganya tergabung dalam satu proses kejadian namun telah mencakup seluruh tahap, atau saling overlap satu tahap dengan tahap lainnya. Pemisahan masing-masing tahapan yang dilaksanakan sangat tergantung pada ketersediaan mekanisme pencucian uang dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh organisasi kejahatan itu sendiri.
Teknik pencucian uang biasanya memiliki ciri-ciri; tidak terduga, canggih, kompleks, rahasia dan wajar. Teknik apapun yang digunakan dalam pencucian uang pada umumnya diarahkan untuk memenuhi tujuan sebagai berikut:
Pertama, pelaku menginginkan untuk menyamarkan pemilik uang sesungguhnya dan asal-usul uangnya. Kedua, pelaku ingin tetap menjaga dan mengendalikan hasil pencucian, dan Ketiga, pelaku ingin melakukan perubahan bentuk atas hasil pencucian.
Untuk mencapai tujuan tersebut, setelah melalui proses “tiga tahap”, pembuat kebijakan dan agen-agen yang terlibat dalam proses pencucian uang mempunyai tugas untuk memperluas dan mengembangkan teknik-teknik pencucian uang yang tepat untuk mengantisipasi terjadinya titik-titik lemah agar tindakan mereka tidak dapat dideteksi.

Media dan Sarana Pencucian Uang
Lembaga keuangan perbankan
Dalam kasus perdagangan obat bius (sebagai contoh), upaya-upaya pendeteksian dan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat internasional terutama difokuskan mulai tahap penempatan, karena pada tahap ini dianggap sebagai kegiatan yang masih bersifat sangat cash intensive. Perdagangan heroin dan kokain atau jenis-jenis obat psikotropika lainnya, volume fisik uang yang diterima jumlahnya jauh lebih banyak dari fisik barang terlarang yang diperdagangkan sendiri. Oleh karenanya pada tahap awal mereka akan berhadapan dengan problem penukaran fisik uang dari nominal kecil menjadi nominal besar. Meskipun para pelaku pencucian uang ingin terbebas dari penguasaan uang secara fisik namun mereka tidak sertamerta mempercayakan uangnya kepada lembaga keuangan perbankan, karena dianggap sangat berisiko. Para pelaku menyadari sepenuhnya bahwa lembaga-lembaga keuangan perbankan telah dipersyaratkan untuk memerangi –setidaktidaknya mencegah- praktek pencucian uang. Persyaratan untuk mengenali nasabah, mengelola pencatatan rekening dengan baik, dan kewajiban untuk melaporkan transaksi yang “aneh” atau dicurigai, mereka anggap sebagai upaya aparat penegak hukum untuk dapat melakukan “audit or document trail”. Sehingga pada tahap penempatan penggunaan lembaga keuangan perbankan, memiliki risiko terdeteksi yang sangat besar (tinggi).
Hambatan yang dijumpai dalam tahap penempatan mengharuskan para pelaku atau agen untuk menciptakan suatu teknik yang innovative. Di Amerika Serikat merupakan hal yang lazim dipraktekkan oleh para pelaku dengan meminta bantuan sejumlah anggotanya untuk menukarkan uang yang memiliki nilai nominal kecil, menjadi nominal besar – proses ini dikenal sebagai “refining” uang haram. Modus operandi yang agak mirip digunakan dalam menghindari ketentuan hukum Amerika yang diwajibkan untuk melaporkan jumlah tertentu yang diperkenankan dalam transaksi tunai (cash). Praktek ini terjadi dalam transaksi transfer atas sejumlah uang dengan nilai yang besar, tetapi ditransaksikan dengan (masing-masing) nilai masih dibawah batas ketentuan pelaporan (US$. 10,000). Dengan demikian uang haram akan dapat masuk kedalam sistem perbankan/lembaga keuangan tanpa menimbulkan kecurigaan dan dianggap sebagai transaksi normal. Upaya lain dari pelaku adalah dengan cara melakukan “tindakan kompromi” dengan pegawai bank. Pada beberapa kasus, lembaga perbankan sendiri sudah memiliki budaya korup, yang mengakibatkan bank terlibat lebih jauh sebagai partner dalam proses pencucian uang. Kasus akhir tahun 1988 yang menyita perhatian publik adalah kasus Bank BCCI, yang dituduh terlibat dalam memfasilitasi pergerakan hasil kejahatan internasional. Kasus ini akhirnya dapat diungkap oleh pihak yang berwajib di Amerika melalui operasi yang diberi sandi “C-Chase”. Operasi ini berhasil menemukan adanya dana hasil pencucian senilai US$. 32 Juta yang melibatkan 9 staf/pejabat penting pada Bank BCCI di Amerika dan di Inggris, akhirnya mereka ditangkap dan diadili. Putusan pengadilan menyatakan bahwa Bank BCCI Amerika terbukti bersalah atas satu tuduhan melakukan konspirasi dan duapuluh delapan tuduhan pencucian uang, dan Bank BCCI Inggris dinyatakan bersalah atas satu tuduhan konspirasi dan dua tuduhan pencucian uang. Total penalties yang dikenakan kepada Bank BCCI tidak kurang dari US$. 15,3 Juta. Pada akhir tahun 1993 suatu laporan yang dikeluarkan
oleh Sekjen PBB menyatakan bahwa Bank BCCI dianggap bertanggungjawab atas pencucian uang dengan jumlah tidak kurang dari US$ 20 Milyar.
Dalam banyak kasus para pelaku seringkali harus berhadapan dengan lembaga perbankan yang tidak korup dan tidak mau kompromi. Pada kondisi seperti ini tidak terelakkan adanya usaha-usaha dari pimpinan organisasi pelaku pencucian uang untuk mengalihkan tahap penempatan ke negara/wilayah/juridiksi yang masih lemah dalam aturan, atau bahkan tidak/belum memiliki peraturan mengenai pencegahan dan pemberantasan praktek pencucian uang. Upaya ini dapat ditempuh dengan berbagai cara termasuk menyelundupkan mata uang secara fisik. Lembaga Kepolisian Internasional (Interpol) mensinyalir; pengiriman uang secara fisik dilakukan melalui bagasi penumpang, kargo, kurir atau perusahaan ekspedisi dari suatu negara kenegara lain yang tidak memiliki kontrol yang ketat atas lalu lintas uang, khususnya negara yang menerapkan undang-undang kerahasian bank (bank secrecy laws). Pada negara tujuan, uang haram akan ditempatkan pada bank atau lembaga keuangan lainnya, dari sini uang tersebut dapat dipindahkan kemanapun mereka inginkan.
Apabila tahap penempatan telah selesai dilaksanakan baik di dalam negeri maupun diluar negeri, maka tahap pelapisan (layering) dimulai. Meskipun berbagai metode dan alternatif pelapisan tersedia, namun akhir-akhir ini yang lebih diminati adalah pemindahan dana dengan cara transfer elektronik atau wire transfer. Cara ini dianggap jauh lebih aman, karena memberikan beberapa keuntungan bagi pelaku seperti; cepat, tidak ada hambatan jarak dan waktu, paling kecil meninggalkan “jejak audit” dan dapat tergabung bersama-sama sejumlah transaksi-transaksi normal lainnya.
Berbagai cara yang dilakukan pelaku untuk memperdayai sistem, dengan tujuan untuk mengumpulkan dana dari berbagai rekening dan memindahkan dana-dana tersebut melalui berbagai rekening ke beberapa bank sehingga asal usul dana tidak dapat ditelusuri. Jika proses pelapisan dilakukan melalui bank di negara yang menerapkan rahasia bank secara kaku, maka pendeteksian menjadi sangat sulit dan tahap penggabungan biasanya dengan mudah pula untuk dilaksanakan.

Lembaga Keuangan Non-bank
Mulai dilaksanakannya upaya-upaya pencegahan praktek pencucian uang oleh lembaga perbankan telah mengancam dan membuat hidup para pelaku terasa lebih sulit karena meningkatnya biaya untuk melaksanakan pencucian dan meningkatnya risiko yang harus dihadapi. Namun demikian para pelaku selalu mencoba memecahkan persoalan melalui proses pengidentifikasian dan mengeksploitasi kelemahan berbagai struktur lembaga perbankan. Upaya ini dilakukan tidak hanya untuk melaksanakan berbagai teknik pencucian yang rumit, tetapi juga untuk mengalihkan kegiatan dari negara yang memiliki sektor-sektor ekonomi dengan aturan yang sudah mapan ke yang kurang mapan.
Pada banyak negara, pemerintah berkonsentrasi mencegah pencucian melalui proses identifikasi penempatan dana, tetapi gagal dalam menyusun program pencegahan secara komprehensif yang dapat mengantisipasi cara-cara pencucian tradisional dan non-tradisional dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya untuk merubah uang haramnya. Para pelaku saat ini sudah sangat memahami prosedur kerja lembaga perbankan yang secara tradisional ingin mengidentifikasi nasabahnya, sehingga mereka berusaha menerapkan strategi-strategi baru dan mutakhir.
Pada kurun waktu beberapa tahun ini para pelaku telah membuktikan bahwa mereka dapat melakukan pencucian melalui sistem dan mekanisme yang ada pada lembaga keuangan non-bank. Lembaga keuangan non-bank digunakan sebagai sarana/media pencucian karena lembaga ini dapat memberikan jasa sebagaimana yang dilakukan oleh bank, tetapi dari sisi pengawasan tidak ketat dan dianggap masih sangat lemah. Jenis usaha yang diklasifikasikan dalam golongan ini antara lain meliputi; money changers (bureaux de change), perusahaan asuransi, pialang saham dan bursa berjangka lainnya, serta pemberi jasa keuangan yang beroperasi layaknya sebuah bank (underground banking).
Berbagai kegiatan yang dilakukan (misalnya oleh money changers) memiliki tujuan khusus dan sangat penting misalnya pada tahap penempatan dari suatu proses pencucian. Contoh lain; perusahaan asuransi jiwa misalnya, cenderung akan digunakan pada tahap pelapisan dan penggabungan. Kepemilikan polis perusahaan asuransi jiwa hanyalah merupakan langkah awal untuk mengalihkan menjadi bentuk investasi lain. Pertimbangan yang sama akan dilakukan oleh pelaku apabila mereka ingin mengembangkan strategi pencucian melalui investasi saham dan obligasi.
Pada era globalisasi yang ditandai dengan semakin terintegrasinya pasar uang dan perdagangan saham global telah menarik para pelaku untuk memanfaatkan sarana ini. Bursa saham dan bursa berjangka merupakan target antara yang sangat menarik untuk dijadikan media pencucian dikarenakan:
Pertama, perusahaan pialang umumnya memiliki jaringan berupa kantor-kantor cabang diseluruh dunia. Transaksi yang mereka lakukan selalu menggunakan media transfer elektronik, dari satu atau melalui beberapa wilayah hukum (jurisdiksi).
Kedua, bursa saham merupakan pasar yang memperdagangkan instrumen-instrumen keuangan yang sangat likuid.
Ketiga, perusahaan pialang bekerja berdasarkan fee, sehingga mereka beroperasi secara kompetitif, dan mereka cenderung tidak pernah mempedulikan asal-usul kepemilikan dana client-nya yang dipergunakan untuk bertransaksi.
Keempat, pada beberapa negara perusahaan pialang diberihak untuk menyimpan, mengelola, dan mentransaksikan surat-surat berharga yang dimiliki oleh client-nya atas dasar kepercayaan, tanpa harus menjelaskan siapa pemilik yang sesungguhnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas bursa saham dan bursa berjangka telah “meminjamkan tangannya” untuk digunakan dalam tahap penempatan pada proses pencucian. Dengan kata lain digunakannya media lembaga keuangan non bank adalah untuk menghindari penggunaan transaksi secara cash melalui lembaga perbankan yang memiliki risiko terdeteksi lebih besar.
Dalam tahap pelapisan dan penggabungan pemanfaatan media lembaga keuangan non bank hanya dilakukan oleh pelaku yang memahami seluk beluk sistem secara menyeluruh. Perlu ditegaskan sekali lagi apapun sarana/media yang digunakan dalam pencucian para pelaku selalu memegang teguh prinsipnya bahwa mereka tidak boleh meninggalkan “document or audit trail”.

Non Lembaga Keuangan
Pencucian uang bukanlah problem sederhana yang hanya dihadapi oleh lembaga keuangan perbankan dan lembaga lain yang aktivitas usahanya di bidang keuangan. Kegiatan usaha non-lembaga keuangan dengan segala bentuknya, telah didentifikasi dimanfaatkan pula sebagai media/sarana pencucian.
Banyak perusahaan yang dibentuk sebagai “vechicles” untuk menuntaskan tahap-tahap dalam proses pencucian, sehingga para pelaku dapat mengubah uang haramnya menjadi asset, dan membangun image bahwa sumber-sumber dana yang dimiliki berasal dari aktivitas usaha yang legitimate. Jenis-jenis perusahaan yang biasa dipergunakan oleh
para pelaku umumnya perusahaan yang sangat cash-intensive, seperti; supermarket, restoran, bar, dan perusahaan pengelola tempat perjudian atau hiburan malam. Melalui perusahaan jenis ini uang haram akan menjadi sangat mudah digabung dengan uang yang diperoleh dari aktivitas bisnis normal. Hasil penggabungan kedua sumber dana kemudian
dilaporkan kepada instansi perpajakan secara resmi, dan pelaku dengan sendirinya telah mendapatkan legitimasi sumber penghasilannya.
Bentuk lain perusahaan yang dapat dimanfaatkan adalah melalui perusahaan yang lazim disebut “shell company” atau “paper company”. Perusahaan ini secara legal formal didaftarkan oleh pelaku sebagai sebuah badan hukum, namun sama sekali tidak melaksanakan aktivitas bisnis. Biasanya perusahaan ini berlokasi di luar negeri (offshore) dan dinegara yang dikenal sebagai “tax havens”. Cara-cara yang dilakukan untuk melaksanakan tujuannya adalah; uang haram yang diperoleh diinvestasikan kedalam negeri asal sipelaku. Untuk melaksanakan investasi di dalam negeri, pelaku akan memberikan sejumlah “down payment” dari sumber dana yang syah. Untuk memenuhi kekurangannya mereka akan membuka dua jenis rekening pinjaman, satu dari sumber yang syah dan yang lainnya dari sumber dana uang haramnya.
Pembayaran kembali hutang ditambah bunganya akan diperlakukan sebagai pembayaran hutang yang sah. Penghasilan dari investasi di dalam negeri yang telah didukung dengan dokumen yang memadai telah menjadi suatu transaksi keuangan yang memenuhi persyaratan legal formal. Dengan demikian pelaku dapat secara bebas menggunakan dananya, dan dapat “meminjam” kembali uang haram berikutnya, sehingga siklusnya akan berjalan secara otomatis. Banyak contoh-contoh lain yang bisa dikemukakan seperti, pemanfaatan transaksi-tansaksi fiktif melalui “shell company” maupun “paper company”, pemanfaat sarana perjudian yang oleh beberapa negara dianggap sebagai bisnis yang legal, penggunaan galeri-galeri seni dan lembaga pelelangan benda dan barang antik yang sangat sulit ditentukan nilai kewajarannya.

Tantangan yang Dihadapi
Menghadapi besarnya permasalahan dan kompleksitas cara-cara yang ditempuh oleh para pelaku pencucian uang, masyarakat internasional menganggap penting bagi aparat penegak hukum untuk meningkatkan kerjasama secara berkesinambungan dengan counterpart-nya dari negara-negara lain menyangkut masalah; identifikasi bentuk-bentuk
tantangan, kecenderungan-kecenderungan baru, dan mengatasi ancaman-ancaman dimasa yang akan datang.
Pada pertemuan Financial Action Task Force (FATF) bulan Nopember 1998 di London dibahas issue-issue mengenai adanya penyalahgunaan yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi di luar negeri dalam kegiatan transaksi derivative untuk pencucian uang. Masalah lain yang menjadi topik bahasan adalah meningkatnya tantangan yang dihadapi oleh pakar-pakar pencucian mengenai berkembangnya teknologi alat-alat pembayaran, seperti semakin berkembangnya penggunaan alat bayar yang disebut “smart cards”, pelaksanaan transfer melalui sistem jaringan terpadu. Perkembangan teknologi ini dipahami sebagai sarana yang memudahkan perpindahan uang cash tanpa pergerakan fisik, yang berpindah dari satu kartu ke kartu lain tanpa melalui mediasi lembaga keuangan secara langsung.
Disisi lain kondisi ini menggambarkan adanya peluang potensial untuk pemanfaatan kemampuan “smart cards” untuk memindahkan uang tanpa batasan ruang dan waktu. Aspek lainnya, adalah revolusi teknologi pemanfaatan internet untuk melaksanakan transfer secara elektronik yang dikenal dengan “e-money” dan teknologi canggih lain yang dikenal dengan “hybrid systems”.
Beberapa tahun terakhir ini FATF berusaha untuk mengembangkan suatu dialog dan pemahaman baru yang memungkinkan aparat penegak hukum dengan para pembuat kebijakan, produsen, perancang serta innovator teknologi alat pembayaran, untuk mendapatkan kesamaan perspektif yang dapat menunjang program anti-pencucian uang.
Kesamaan pandangan tersebut meliputi:
Pertama, kemungkinan ketidakmampuan pihak-pihak yang menerapkan teknologi baru untuk mengidentifikasi keabsaahan transaksi.
Kedua, perlunya transparansi dalam bertransaksi.
Ketiga, cara mengatasi ketiadaan atau tidak memadainya “audit trail”, rekaman transaksi, atau dimungkinkannya pelaporan transaksi yang dicurigai oleh penyedia teknologi.
Keempat, penggunaan pengamanan tingkat tinggi untuk menghindari penyalahgunaan teknologi oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.
Kelima, pelaporan transaksi-transaksi yang menyimpang dari aturan atau ketentuan hukum yang berlaku.
Dialog ini diharapkan akan mampu menjadikan sektor swasta, dunia industri dengan pihak pemerintahan secara bersama-sama untuk menetapkan langkah-langkah yang memungkinkan pemberian suatu jaminan bahwa sistem yang dibangun dan dikembangkan dapat meminimalkan potensi penyalahgunaan oleh pelaku tindak kecurangan.

Posisi dan Peran Indonesia
Indonesia saat ini, sesuai dengan hasil pertemuan tahunan (annual meeting) tahun 2001 Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) di Kuala Lumpur Malaysia, masih dikelompokkan sebagai Non Cooperative Country/Territory berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh negara-negara evaluator yang diusulkan oleh Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering. Predikat tersebut diberikan kepada Indonesia dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam pencegahan pencucian uang dianggap belum cukup memadai
Kedua, belum adanya undang-undang atau peraturan yang menetapkan bahwa praktek pencucian uang merupakan suatu tindak pidana.
Ketiga, Indonesia masih dianggap sebagai salah satu negara yang aman untuk melakukan praktek pencucian uang.
Dalam laporan Presiden FATF Jose Maria Roldan per tanggal 22 Juni 2001 dinyatakan bahwa terdapat 16 negara/wilayah di dunia yang termasuk dalam kriteria negara/wilayah yang tidak kooperatif dalam memerangi tindakan pencucian uang (Non Coperative Contries and Territories – NCCT’s). Ke-16 negara/wilayah tersebut adalah Cook Island, Dominica, Egypt, Guatemala, Hugary, Indonesia, Israel, Lebanon, Marshal Islands, Myanmar, Nauru, Nigeria, Niue, Philipines, Russia, St. Kitts and Nevis, and St. Vincent and the Grenadines. FATF meminta kepada anggota anggotanya untuk meminta lembaga-lembaga keuangannya memberikan perhatian khusus pada kegiatan bisnis dan transaksi yang berhubungan dengan perorangan, termasuk perusahan dan lembaga keuangan, yang berada di negara/wilayah yang termasuk dalam NCCT’s.
Pemerintah Indonesia sampai dengan saat ini belum meratifikasi The Vienna Convention -pemerintah sedang mempersiapkan RUU Anti Money Laundering yang siap diajukan ke DPR untuk disyahkan menjadi Undang-Undang Anti Money Laundering-, sehingga disinyalir Indonesia telah menjadi salah satu negara tujuan (surga bagi pelaku) untuk melakukan tindakan pencucian uang.
Bank Indonesia di tahun 2001 ini telah mengeluarkan beberapa aturan yang diantaranya bertujuan untuk mendukung tindakan pencegahan terjadinya kegiatan pencucian uang di Indonesia Peraturan tersebut di antaranya adalah: (1) Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/13/DSM tanggal 13 Juni 2001 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisi Oleh Bank; (2) Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer principles).
Dalam SE BI No. 3 tahun 2001 diantaranya dinyatakan mengenai kewajiban bagi Bank untuk melaporkan kepada Bank Indonesa apabila terdapat transaksi di atas US$ 10,000 secara rinci antara lain mengenai jenis rekening, status dan kategori pelaku transaksi, hubungan keuangan antar pelaku transaksi, jenis valuta dan tujuan transaksi. Aturan Bank Indonesia ini me-refer kepada The Bank Secrecy Act (BSA) yang berlaku bagi warganegara Amerika yang dinyatakan sebagai berikut “US Person with a financial account in foreign country that exeeded US$10,000 during a year to file a Report of Foreign Bank and Financial Accounts” dan Money Laundering Control Act yang dinyatakan sebagai berikut “knowing engaging (including by being willfully blind) in transaction of more than US$10,000 that involves property from criminal activity”.
Sedangkan Peraturan BI No. 3 dinyatakan mengenai kewajiban bagi Bank untuk mengenal nasabahnya secara menyeluruh (baca: komprehensif) apabila yang bersangkutan memiliki rekening di atas Rp100juta dan Bank harus melaporkan ke BI apabila terjadi transaksi yang mencurigakan (suspicious transactions). Aturan BI ini juga me-refer kepada guideline Know Your Customer (KYC policy) yang dikeluarkan oleh Basel Committee on Banking Supervision pada tahun 1998 yang kemudian di-adopt oleh Federal Reserve (Bank Sentral Amerika) menyatakan bahwa “knowing customers, including depositors and other users of bank services, requiring appropriate identification, and being alert to unusual or suspicious transactions can help deter and detect laundering schemes”.

Indonesia Surga bagi Launderer?
Indonesia dikategorikan sebagai negara NCCT’s oleh FATF bukan merupakan sesuatu hal yang sengaja dilakukan untuk mendiskreditkan Indonesia di mata dunia internasional, tetapi sudah tentu kategorisasi tersebut karena di dukung dengan data dan fakta yang terjadi di Indonesia.
Laporan International Narcotics Control and Strategy Report yang di-realesed bulan Maret 1997 dinyatakan bahwa telah ditemukan suatu tindak kecurangan dalam transaksi keuangan (financial fraud) yang berasal dari kode kode telex rahasia yang digunakan bank untuk melakukan transaksi bank dengan bank-bank lainnya yang mengakibatkan
terjadinya penarikan uang sebesar $42juta dari Hongkong and Shanghai Bank di Jakarta. Diduga keras sejumlah “kriminal” yang terlibat di dalam transaksi tersebut adalah pimpinan dari Dragon Bank, yang terdaftar di Vanuatu tetapi beroperasi di Manila dan di negara lainnya. Dan Dragon Bank sekarang telah kehilangan lisensinya di Jakarta.
Terkait dengan insiden “Dragon Bank”, pejabat kedutaan di Jakarta, Hongkong, dan kota-kota lainnya bertemu dengan pejabat-pejabat bank di Amerika, dan mempelajari bahwa bank-bank asing dan bank lokal di banyak negara Asia sebenarnya telah dikonfrontir secara terus menerus tanpa menyadari bahwa telah terjadi suatu financial frauds. Mungkin terdapat banyak lagi contoh-contoh kongkrit lainnya yang membuktikan bahwa Indonesia sudah menjadi surga bagai pelaku untuk dapat menjadikan uangnya secara legal. Dari beberapa diskusi diperoleh iinformasi bahwa KYC policy yang diberlakukan oleh BI, tidak segera mendapatkan respons positive oleh kalangan perbankan Indonesia. Alasan yang paling mendasar kenapa hal tersebut terjadi adalah dengan diberlakukannya KYC policy maka secara tidak langsung akan membatasi “keleluasaan” customer menempatkan pada bank yang bersangkutan, sedangkan pada saat ini ummnya bank-bank di Indonesia dalam keadaan kesulitan likuiditas untuk memenuhi target CAR 8% yang harus dipenuhi sampai dengan akhir tahun 2001.
Jika dikaji lebih jauh kondisi seperti ini menjadi dilematis bagi kalangan perbankan kita, tetapi bagaimanapun kita semua (khususnya kalangan perbankan) harus mendukung untuk memerangi kegiatan pencucian uang di Indonesia, apapun itu alasannya. Dengan ikut berperan aktif dalam memerangi kegiatan pencucian uang melalui implementasi
KYC policy dan segera meratifikasi The Vienna Convention, maka Indonesia akan dapat keluar dari kategori NCCT’s dan aktivitas perbankan di negara ini akan bersih dari usaha-usaha para kriminal untuk melegalkan “dirty money” yang diperolehnya.

Refferences:
1. Basic Fact About Money Laundering, released by FATF
2. FATF Report Released June 2001, released by FATF
3. FATF Public Statement February 2001, released by FATF
4. SE Bank Indonesia No. 3/13/DSM Juni 2001, released by Bank Indonesia
5. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 Juni 2001, released by Bank Indonesia
6. Money Laundering Alert weekly report, May 2001, released by Alert Global Media
7. International Narcotics Control Strategy Report, March 1997, released by US Department of State
8. Publication of the Office of the Comptroller of the Currency (OCC).

Sunday, January 6, 2008

Perkenalan

Hai.......!
Wah seneng juga ya, hari ini saya sudah bisa mulai nulis di blog ini.....
(tapi jangan dikomentari norak ya......)
Blog ini saya tujukan untuk menjadi wadah menuangkan ide-ide....pengalaman pribadi, catatan harian dan sarana komunikasi dengan semua orang yang concern dengan upaya mendukung meminimalkan terjadinya fraud.
Kalau ada hal-hal yang sifatnya norak, narcis.....atau terlalu mengada-ada ya terima aja sebagai dinamika kebebasan mengemukakan pendapat. Yang pasti apa yang mau disampaikan disini tidak ada kaitannya dengan SARA (singkatan apa tuh?) .....auk agh gelap. He....he...he